Pesona Silek Kapak Nagari Padang Laweh Sijunjung

Foto ilustrasi: Jepretan Erison J Kambari

Di pedalaman Sumatera Barat, tepatnya di Nagari Padang Laweh, Kabupaten Sijunjung, tersimpan sebuah warisan budaya yang unik dan mengagumkan. Silek Kapak, sebuah pertunjukan pencak silat tradisional yang menggunakan kapak sebagai properti utama, telah memikat hati masyarakat setempat selama berabad-abad lamanya.

Jika Anda berkunjung ke daerah ini, jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan sendiri kemeriahan dan ketangkasan para pesilat dalam mempertunjukkan keahlian mereka.

Asal Usul Silek Kapak yang Melegenda

Menurut kisah yang diturunkan dari mulut ke mulut, Silek Kapak berawal dari sebuah peristiwa di masa lampau ketika masyarakat Nagari Padang Laweh bergotong royong mencari kayu di hutan untuk membangun rumah adat (rumah gadang) mereka.

Dalam perjalanan pulang dari hutan, terjadi perselisihan di antara para pekerja yang berujung pada perkelahian menggunakan kapak yang mereka bawa.

Peristiwa inilah yang kemudian menjadi asal muasal lahirnya Silek Kapak, sebuah seni bela diri yang menggunakan kapak sebagai senjata utama.

Pertunjukan yang Memukau dan Penuh Makna

Silek Kapak ditampilkan oleh dua orang laki-laki yang telah menjalani latihan keras dan memiliki keberanian yang luar biasa. Menggunakan kapak asli sebagai properti, mereka akan memperagakan enam gerakan khas yang sarat akan makna filosofis, yaitu sambah pembuka, amuak kapalo, amuak dado, pata tobu, klotiak, dan sambah penutup.

Gerakan amuak kapalo melambangkan upaya untuk mempertahankan bagian terpenting dari tubuh, yaitu kepala, sebagai pusat dari segala aktivitas dan pemikiran.

Amuak dado menggambarkan salah satu pemain yang ingin menyerang dada lawan, sekaligus mewakili sikap berlapang dada dalam menjalani kehidupan sosial.

Sementara itu, pata tobu melambangkan upaya untuk mematahkan tangan lawan, sebuah peringatan agar tidak mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Terakhir, gerakan klotiak mengisyaratkan kewaspadaan untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh ajaran dan aturan.

Desain lantai yang digunakan adalah pola berhadapan dengan arah hadap yang berbeda-beda, membuat pertunjukan semakin dinamis dan menegangkan.

Pemain mengenakan kostum tradisional Minangkabau yang khas, seperti baju taluak balango hitam berlengan panjang dan longgar, celana hitam longgar, sesamping (kain sarung yang diikatkan ke pinggang), dan deta (kain persegi empat bermotif yang diikatkan di kepala).

Iringan Musik Tradisional yang Menghanyutkan

Pertunjukan Silek Kapak diiringi oleh alunan musik tradisional Minangkabau yang memukau. Alat musik yang digunakan antara lain talempong, gendang, dan gong, menghasilkan harmoni yang menghanyutkan dan semakin memeriahkan suasana pertunjukan. Setiap dentuman dan ketukan seolah menjadi nafas dari setiap gerakan para pesilat, membawa penonton ke dalam dimensi yang berbeda.

Melestarikan Warisan Budaya yang Tak Ternilai

Silek Kapak awalnya hanya ditampilkan pada acara adat “batagak rumah gadang” (mendirikan rumah adat) oleh Suku Tobo di Nagari Padang Laweh. Namun, seiring berjalannya waktu, Silek Kapak mulai dipertunjukkan dalam berbagai acara adat lainnya, seperti turun ke sawah, upacara adat, dan perayaan ulang tahun Kabupaten Sijunjung.

Bahkan, Silek Kapak juga sudah dibawa ke luar daerah untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas, menjadi duta budaya Minangkabau yang membanggakan.

Dengan menyaksikan pertunjukan Silek Kapak, Anda tidak hanya mendapatkan tontonan yang menghibur, tetapi juga turut melestarikan warisan budaya Minangkabau yang tak ternilai harganya.

Inilah kesempatan langka untuk menyaksikan secara langsung kekayaan budaya yang telah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat Nagari Padang Laweh.

Jadi, jika Anda berkesempatan mengunjungi Sumatera Barat, pastikan untuk menyempatkan diri menyaksikan pertunjukan Silek Kapak yang memukau ini.

Nikmati ketangkasan para pesilat, hirup aroma budaya Minangkabau yang kental, dan biarkan diri Anda terhanyut dalam kemeriahan pertunjukan warisan leluhur yang telah bertahan selama berabad-abad lamanya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *